Doa adalah ibadah dalam bentuk harapan pasrah. Doa adalah senjata
bagi orang beriman. Sehebat apapun manusia beragama, ketergantungan
kepada suatu sandaran mutlak, menjadi kebutuhan. Tak salah jika
dikatakan, hanya orang sombong dan angkuh yang tak butuh dengan doa. Doa
itu penting, apapun bentuk doa kita, Tuhan tahu dan pasti
mengabulkannya.Akhir-akhir ini doa sebagai senjata, ditafsirkan keliru oleh
kebanyakan orang. Posisi doa sebagai senjata, menjadi tameng berubah
menjadi kesan bahwa yang bersangkutan adalah orang beriman dan
senantiasa menyandarkan segala tindakannya kepada sang Khalik. Terkadang
pula, doa hanya dilakukan ketika seorang sudah dalam keadaan terjepit.
Doa menjadi pengakuan kepada Tuhan, tiada jalan lain selain pengabul
doa.
Beberapa wakru lalu, media merilis, ketika SBY masih berada di Mekah Arab Saudi, dia berdoa memohon petinjuk kepada sang Maha Pengatur, agar diberi petunjuk jalan terbaik atas kisruh internal partai yang didirikannya. Lewat SMS, SBY meminta Anas dan pengurus PD ikut mendoakan, agar dirinya diberi “wangsit” memutuskan yang terbaik bagi masa depan PD.
Alhasil, sepulang dari sana, SBY merasa mendapat bisikan dan menemukan solusi terbaik untuk menyelamatkan PD. Bisikan yang mungkin berasal dari doa tadi, dipaparkan dengan keputusan Majelis Tinggi mengambil alih kedudukan ketua umum partai, yang dijabat Anas. Tak sampai di situ, nuansa doa menghasilkan tindakan dan keputusan agar semua pengurus PD menandatangani Pakta Integritas dari Pusat hingga pimpinan daerah.
Halaman pertama dengan bahasa Anas sebagai bentuk perlawanan, dimulai. Tanggal 3 Maret 2013, ketika Presiden akan berangkat ke Jerman, beliau seolah berdoa dengan harapan agar Anas lepas dari dakwaan. Sebab jika mantan ketua PB HMI itu ternyata tidak bersalah, akan menguntungkan Partai yang ia dirikan. Doa ini tentu berbeda dengan doa sebelumnya.
Doa sebagai senjata politik, sudah lumrah. Fungsi doa sebagai wahana penyandaran keterbatasan manusia, bisa jadi ditempatkan sebagaimana mestinya, namun doa sebagai alat untuk tujuan lain, pun bukan tidak berguna. Tentunya, apapun bentuk doa, semuanya berpotensi menguntungkan si pemilik doa.
Berbeda dengan masa menyambut Ujian Nasional, doa pun dikemas sesuai kebutuhan sekolah. Sangat menggelikan ketika siswa tahu, bahwa saat Ujian Nasional mereka akan dibantu, bahkan dengan jalan yang tidak benar, namun acara doa bersama dengan harapan UN berjalan lancar, dan semua siswa lulus, tetap dipaksakan.
Bentuk lain dari doa, dalam sejarah, ketika banjir besar melanda bumi, dan semua tenggelam. Nuh as bersama pengikutnya selamat berada di atas kapal. Di tengah samudera banjir dengan gelombang besar, Nuh as, melihat puteranya berjuang selamat dari banjir dan memanggilnya naik ke atas kapal. Namun puteranya, enggan, “jika gunung itu telah kugapai, saya akan selamat.” Jawabnya.
Akhirnya banjir besar menenggelamkan putera Nuh as. Nuh kemudian berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya dia adalah anakku (dari keluargaku), dan janjiMu Maha Bijaksana.” Namun Tuhan menjawab, “Hai Nuh, dia bukan anakmu (meski darah dagingmu), disebabkan karena amal perbuatannya bukanlah amal shaleh.
Akhirnya, penulis berpesan; Tuhan Maha Tahu, Dia tidak ngantuk dan tidak tidur. Mengetahui yang nyata dan tersembunyi, lahir dan batin. Apapun bentuk doa manusia, Tuhan pasti tahu.
Beberapa wakru lalu, media merilis, ketika SBY masih berada di Mekah Arab Saudi, dia berdoa memohon petinjuk kepada sang Maha Pengatur, agar diberi petunjuk jalan terbaik atas kisruh internal partai yang didirikannya. Lewat SMS, SBY meminta Anas dan pengurus PD ikut mendoakan, agar dirinya diberi “wangsit” memutuskan yang terbaik bagi masa depan PD.
Alhasil, sepulang dari sana, SBY merasa mendapat bisikan dan menemukan solusi terbaik untuk menyelamatkan PD. Bisikan yang mungkin berasal dari doa tadi, dipaparkan dengan keputusan Majelis Tinggi mengambil alih kedudukan ketua umum partai, yang dijabat Anas. Tak sampai di situ, nuansa doa menghasilkan tindakan dan keputusan agar semua pengurus PD menandatangani Pakta Integritas dari Pusat hingga pimpinan daerah.
Halaman pertama dengan bahasa Anas sebagai bentuk perlawanan, dimulai. Tanggal 3 Maret 2013, ketika Presiden akan berangkat ke Jerman, beliau seolah berdoa dengan harapan agar Anas lepas dari dakwaan. Sebab jika mantan ketua PB HMI itu ternyata tidak bersalah, akan menguntungkan Partai yang ia dirikan. Doa ini tentu berbeda dengan doa sebelumnya.
Doa sebagai senjata politik, sudah lumrah. Fungsi doa sebagai wahana penyandaran keterbatasan manusia, bisa jadi ditempatkan sebagaimana mestinya, namun doa sebagai alat untuk tujuan lain, pun bukan tidak berguna. Tentunya, apapun bentuk doa, semuanya berpotensi menguntungkan si pemilik doa.
Berbeda dengan masa menyambut Ujian Nasional, doa pun dikemas sesuai kebutuhan sekolah. Sangat menggelikan ketika siswa tahu, bahwa saat Ujian Nasional mereka akan dibantu, bahkan dengan jalan yang tidak benar, namun acara doa bersama dengan harapan UN berjalan lancar, dan semua siswa lulus, tetap dipaksakan.
Bentuk lain dari doa, dalam sejarah, ketika banjir besar melanda bumi, dan semua tenggelam. Nuh as bersama pengikutnya selamat berada di atas kapal. Di tengah samudera banjir dengan gelombang besar, Nuh as, melihat puteranya berjuang selamat dari banjir dan memanggilnya naik ke atas kapal. Namun puteranya, enggan, “jika gunung itu telah kugapai, saya akan selamat.” Jawabnya.
Akhirnya banjir besar menenggelamkan putera Nuh as. Nuh kemudian berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya dia adalah anakku (dari keluargaku), dan janjiMu Maha Bijaksana.” Namun Tuhan menjawab, “Hai Nuh, dia bukan anakmu (meski darah dagingmu), disebabkan karena amal perbuatannya bukanlah amal shaleh.
Akhirnya, penulis berpesan; Tuhan Maha Tahu, Dia tidak ngantuk dan tidak tidur. Mengetahui yang nyata dan tersembunyi, lahir dan batin. Apapun bentuk doa manusia, Tuhan pasti tahu.
Posting Komentar