Kasus pemerkosaan anak kian marak terjadi.
kibarbelawa.com-Kasus pemerkosaan yang kian marak terjadi di Jakarta saat ini, terutama yang melibatkan anak di bawah umur sebagai korban maupun pelaku, merupakan gambaran lemahnya fungsi kontrol sosial dan keluarga terhadap anak. Faktor pengasuhan, rendahnya fungsi kontrol orang tua, maupun gangguan psikologi dipercaya sebagai faktor yang dapat memicu tindakan penyimpangan seksual oleh anak-anak di bawah umur.
Pengalaman mendapatkan
kekerasan seksual secara fisik maupun non fisik pada anak juga dianggap
sebagai pemicu utama anak untuk berperilaku seksual yang belum
sepantasnya dilakukan oleh golongan usianya. Sebagai tamsil, ketika anak
memiliki pengalaman mendapatkan perilaku seks dari orang dewasa,
seperti pernah disentuh alat kelaminnya, dipaksa melakukan tindakan
oral, hingga mengalami sodomi, maka mereka akan mengalami trauma yang
menyakitkan.
Kondisi traumatik ini
akan memaksa mereka mengendapkan pengalaman pahit mereka ke alam bawah
sadar, hingga mampu mempengaruhi sikap, cara pandang, hingga orientasi
seksual anak di fase selanjutnya. Hipotesa tersebut diperkuat oleh
temuan sebuah lembaga riset yang berkedudukan di Australia, Center Against Sexual Assault (CASA, 2012).
CASA menyimpulkan bahwa
perilaku orang dewasa di sekitar anak, baik orang tua, pengasuh, atau
siapa pun yang berada di lingkungan tempat anak bertumbuh kembang, akan
berdampak signifikan dalam pembentukan karakter, sikap, dan perilaku
anak.
Sikap para orang dewasa
yang sering tidak menghargai keberadaan anak melalui kebiasaan
melontarkan kata-kata kotor, mencela dengan kalimat yang bernuansa
seksual, hingga mempertontonkan tindakan asusila baik sengaja maupun
tidak sengaja pada anak, diyakini dapat mendorong agresifitas anak untuk
melakukan tindakan kekerasan seksual.
Lenore Terr (1990) lewat bukunya yang berjudul Too Scared to Cry menggambarkan
bagaimana efek trauma pada anak dapat memicu perilaku amoral anak
sebagai bentuk perlawanan akan tindakan tidak menyenangkan yang telah
dialaminya.
Lenore Terr yang juga
berlatar belakang sebagai psikiater handal dari Michigan University
tersebut menjelaskan bahwa efek trauma itu muncul sebagai akibat dari
ketidakmampuan anak dalam melakukan perlawanan terhadap pihak yang telah
melakukan tindakan yang tidak menyenangkan terhadapnya. Hal ini
mengarah pada munculnya konflik dan pergulatan batin di dalam ranah
kesadaran anak sebagai bentuk sikap tidak menerima perlakuan buruk yang
dialaminya yang pada akhirnya mendorong anak untuk mengekspresikan apa
yang dirasakan.
Efek trauma ini akan
melekat kuat pada memori anak yang terus menerus muncul dalam ingatan
anak secara tiba-tiba baik melalui stimulus penglihatan dan pendengaran,
baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga dengan adanya sedikit
stimulasi pada traumanya, anak akan dengan mudah terpantik untuk
melakukan tindakan agresif, kekerasan, termasuk perilaku amoral. Hal
tersebut merupakan coping strategy anak dalam mengatasi konflik batin yang disebabkan oleh trauma.
Selain faktor trauma akan
perilaku kekerasan seksual, terpaparnya anak terhadap sajian
pornografi, baik yang bersumber dari video, majalah, maupun gambar
bernuansa seksual juga menjadi penyebab utama munculnya perilaku seksual
pada anak di bawah umur.
Sejak awal, Sigmund Freud (1921) mengingatkan kita melalui teori perkembangan psychosexual
anak. Freud mengatakan bahwa anak memiliki jenjang ketertarikan
terhadap aspek seksualitas sejak usia tiga hingga enam tahun. Hal itu
ditandai dengan ketertarikan mereka akan organ kelamin mereka sendiri.
Sehingga, hal yang lumrah
ketika anak pada fase ini senang untuk mengeksplorasi alat kelamin
mereka sendiri. Selanjutnya, pada umur enam tahun hingga pubertas,
seorang anak akan memiliki keingintahuan lebih banyak terhadap lawan
jenis. Ketika memasuki fase tersebut, seorang anak mulai menunjukkan
keberanian untuk mengekspresikan ketertarikan terhadap lawan jenis.
Pada fase ini, apabila
anak sudah terpapar oleh faktor stimulus seperti media yang bernuansa
seksual, maka seorang anak akan cenderung mengalami gejolak batin untuk
mengekspresikan perilaku dan orientasi seksualnya. Jika pihak keluarga
dan lingkungan sosial tidak memberikan pengawasan dan pengarahan yang
tepat, maka seorang anak akan mendapatkan angin segar untuk
mempraktekkan apa yang seolah diketahuinya dari tayangan-tayangan
pornografi tersebut.
Fatalnya, perilaku
seksual mereka seringkali dilakukan kepada anak yang pada umumnya
berusia lebih muda dari mereka dengan maksud untuk menekan tingkat
perlawanan saat aksi kekerasan seksual dilakukan. Dengan alasan inilah,
media pornografi dinilai benar-benar berdampak sangat destruktif
terhadap perkembangan mental dan perilaku anak.
Karena itu, berbagai upaya harus dilakukan oleh seluruh stakeholders
baik di keluarga, masyarakat, maupun aparat pemerintah, untuk
menghindarkan anak dari media-media yang memuat stimulus seksual, untuk
menghindari merebaknya tindak kekerasan seksual oleh dan pada anak di
bawah umur.
Kandidat Doktor bidang Psikologi Pendidikan dan Ilmu Rehabilitasi Kesehatan di The University of Queensland, Australia, juga Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB)
Kandidat Doktor bidang Psikologi Pendidikan dan Ilmu Rehabilitasi Kesehatan di The University of Queensland, Australia, juga Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB)
Posting Komentar