Melahirkan Generasi Qur’ani
Suatu
hari seseorang pemuda berjalan
di sebuah desa yang sangat asri, dihiasi
oleh banyak pepohonan, udara yang penuh dengan kesejukan, sungai-sungai
yang mengalir begitu jernihnya, sebuah perjalanan biasanya kebanyakan
orang membawa cukup perbekalan baik uang, atau makanan-minuman dan
sebagainya. Namun berbeda dengan pemuda ini, bukan karena lupa membawa
perbekalan namun ketiadaanya yang membuat pemuda ini tidak membawa
apa-apa, perjalanan yang cukup melelahkan membuat pemuda ini merasakan
dahaga dan lapar, wajarlah karena memang pemuda ini seorang manusia
biasa bukan malaikat.
Singkat cerita pemuda ini melihat ada
satu buah yang jatuh dari pohonnya, dengan semangat dan tanpa berfikir
panjang, apakah buah itu kotor atau setengah kotor dia tak peduli dengan
hal itu langsung saja pemuda ini mengejar dengan rasa riang dan
bahagia, ia pun mendapatkannya dengan mudah, dicuci lalu dimakannya
setelah membaca basmalah, ia pun menghilangkan dahaga hausnya dengan
meminum seteguk air sungai yang segar.
Setelah pemuda ini baru saja memakan
setengah dari buahnya lalu tiba-tiba terbesitlah ia, bahwa sesungguhnya
dari manakah buah itu berasal? Orang yang bertakwa kepada Allah, jika
digoda dengan syetan akan cepat mengingat Allah SWT.
“Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada
Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”. (QS Al A’raf:201) Subhanallah.
Lalu pemuda ini menelusuri pohon yang
kira-kira dari manakah buah ini berasal, tidak mungkin buah ini datang
begitu saja, pasti berasal dari sebuah pohon. Akhirnya pemuda ini
menemukan pohon tersebut. Dengan rasa yang sangat takut, karena merasa
memakan makanan yang bukan miliknya, seperti takutnya sahabat Abu Bakar
ra takkala tahu makanan yang dimakan itu tidak halal, ia segera
memasukkan jari ke mulutnya dan memuntahkan semua makananannya. (HR
Bukhari).
Kemudian pemuda ini memberanikan diri
untuk masuk ke salah satu rumah penduduk yang diduga pemilik pohon
tersebut. Lalu dengan nada suara yang lembut, pemuda ini mengucapkan
salam. Setelah berbicara panjang, apa yang ditanyakan oleh pemuda ini
dibetulkan oleh pejaga rumah lalu ia pun mendatangi pemilik pohon itu.
Pemuda ini kemudian meminta maaf kepada pemilik pohon karena sudah
memakan buahnya tanpa seizininnya meskipun bukan maksud mengambilnya,
namun karena keadaan spontan dan juga karena ditemukan di tanah.
Pemilik pohon ini, didalam hatinya merasa
terkagum-kagum dengan perilaku yang dilakukan pemuda tersebut. Walaupun
pemuda ini sudah meminta maaf, namun pemilik kebun tak semudah itu
memaafkannya, dikarenakan pemilik kebun merasa ada sesuatu yang beda
dengan pemuda ini. Tidak sembarang pemuda, yang ini sangat berbeda
dengan pemuda-pemuda lain. Selanjutnya sang pemilik pohon mau memaafkan
kesalahannya asalkan dengan satu syarat, syaratnya adalah jika pemuda
ini sanggup maka akan dimaafkan segela kesalahannya. Tanpa berfikir
panjang pemuda ini mengiyakannya, karena takutnya kepada Allah SWT (QS.
An-Nisa : 29).
Namun ternyata syarat yang diajukan ini
sangat mengejutkan, karena syaratnya adalah pemilik pohon menginginkan
pemuda ini menikahi putrinya. Dengan rasa berat namun dilandasai dengan
keimanan yang kokoh, pemuda ini pun mengiyakan syarat tersebut.
Selanjutnya pemilik pohon menceritakan singkat profil putrinya ini.
Bahwasanya putrinya ini mempunyai tubuh yang buta, bisu, tuli dan
lumpuh. Hal ini sempat menggegerkan kembali hati pemuda tersebut, namun
dengan iman yang mantap ia pun mengiyakan itu semua. Lalu terjadilah
akad pernikahan. Sesudah pernikahan usai, pemuda ini dipersilahkan masuk
menemui istrinya.
Sewaktu pemuda ini hendak masuk ke kamar
pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya
tuli dan bisu, karena ia menyakini bahwa malaikat tentu tidak tuli dan
bisu. Maka pemuda inipun mengucapkan salam, tak disangka putri yang ada
dihadapannya itu menjawab salamnya. Bahkan ketika pemuda ini masuk dan
menghampiri putri itu, dia pun mengulurkan tangannya. Pemuda ini
terkejut karena putri yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran
tangannya.
Pemuda ini berkata dalam hatinya, bapak
pemilik pohon itu berkata, bahwa putrinya itu tuli dan bisu tetapi
mengapa putrinya menyambut salamku? Berarti putri yang ada dihadapannya
dapat mendengar dengan baik dan tidak bisu. Kemudian bapak itu juga
mengatakan bahwa putrinya buta dan lumpuh tetapi mengapa putrinya
menyambut kedatangannya dengan ramah dan mesra? Pemuda ini berpikir
sejenak, mengapa bapaknya menyampaikan berita-berita yang bertentangan
dengan keadaan sebenarnya?
Setelah pemuda ini duduk di kamar
putrinya itu, dia bertanya kepada putri itu, bapakmu mengatakan kepadaku
bahwa engkau buta, mengapa demikian? Putri itu kemudian menjawab,
bapakku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan
Allah SWT.
Kemudian pemuda ini bertanya lagi,
bapakmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa demikian? Putri itu
menjawab, bapakku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita
dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah SWT. Bapakmu juga
menceritakan kepadaku bahwa kamu bisu dan lumpuh, mengapa demikian?
Putri itupun kembali menjawab, aku dikatakan bisu karena dalam banyak
hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah SWT saja.
Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke
tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah SWT. Subhanallah..
Pemuda ini pun merasa sangat bahagia,
karena mendapatkan istri yang ternyata sangat sholehah dan putri yang
selalu memelihara kehormatan dirinya. Cerita bapak mertuanya ternyata
semua itu hanyalah kiasan semata. Dengan bangganya pemuda ini, ia
bercerita perihal tentang istrinya, ketika kulihat wajahnya…Subhanallah,
Dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap. Kemudian pemuda sholeh
dan pemudi sholehah itu hidup rukun dan bahagia, keluarga penuh dengan
keberkahan, keluarga sakinah-mawaddah-warahmah (QS.Ar-Rum:21). Tak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang sangat sholeh, melahirkan generasi qur’ani.
Syarat pertama untuk
melahirkan generasi qur’ani adalah mencari makanan yang halal, yang
Allah sediakan untuk kita, namun bukan saja Halal, namun juga Thoyyib
(QS. Al-Maidah: 88). Sering kita lihat motto salah satu warung makanan,
Halalan Thoyyiban, karena jika halal saja tidak cukup, harus thoyyib
(baik), karena coba kita lihat kulit duren, bukankah itu halal? boleh
dimakan namun tidak thoyyib, dengan memakan makanan yang halal dan
thoyyib, kita dihindarkan dari hal-hal yang diharamkan Allah dalam tubuh
kita, maka semakin bersih dan sucilah jiwa kita.
Syarat kedua adalah
memilih istri yang sholehah (QS An-Nisa: 34). Itu pesan yang sangat
penting diantara syarat-syarat orang memilih seorang wanita, Rasulullah
Saw sangat menganjurkan untuk memilih istri yang sholehah, karena dia
yang akan membahagiakan kita, serta kita pun sangat beruntung
mendapatkannnya (HR Bukhari Muslim).
Syarat yang kedua ini juga sangat
menentukan masa depan kita, bukan hanya kebahagiaan di dunia saja
melainkan akhirat, jika hanya satu diantara orang tua yang
sholeh/sholehah, maka akan sulit melahirkan generasi qur’ani,
sebagaimana pelajaran dari kisah Nabi Nuh AS. Nabi Nuh adalah seorang
Nabi yang tak diragukan lagi ketaatannya kepada Allah SWT, akan tetapi
mempunyai istri yang tidak taat kepada suami dan Allah SWT, hasilnya
anak pun tidak menjadi anak yang sholeh/sholehah (QS At-Tahriim: 10),
yaitu membangkang dan durhaka sehingga istri dan anaknya dibiarkan
tenggelam di lautan (QS Hud : 42-43).
Contoh kedua adalah Raja Fir’aun, raja
yang sangat beringas, raja yang menuhankan dirinya untuk disembah, yang
memerintahkan untuk membunuh seluruh anak-anak kecil laki-laki yang
dikhawatirkan akan menumbangkan kerajaannya (QS Al A’raf: 127), suami
yang tidak sholeh, tidak taat kepada Allah SWT namun ia memiliki istri
yang sholehah, dialah Asiyah, seorang istri raja Fir’aun yang memiliki
ketaatan yang begitu baik kepada Allah SWT (QS At-Tahriim: 11).
Ketaatan seorang istri kepada Allah SWT
saja tidak cukup, yang tidak dibarengi oleh suami yang sholeh, walhasil
akan sulit melahirkan generasi qur’ani. Contoh yang terbaik adalah
dialah Abul Anbiya, bapak para Nabi, Nabi Ibrahim AS (QS At-Taubah:
114), mempunyai istri yang sholehah, yang taat kepada Allah SWT, taat
sekali kepada suaminya. Dengan demikian maka lahirlah generasi qur’ani,
anak yang sholeh, yang taat sekali kepada Allah dan orang tuanya, dialah
Nabi Ismail AS (QS. Ash-Shaffat:99-111).
Contoh terakhir adalah dialah penutup
para Nabi, Nabi Muhammad SAW, manusia terbaik, teladan untuk semua
manusia (QS Al Ahzab: 21), yang mempunyai istri-istri yang sholehah,
yang selalu taat kepada Allah SWT, dan suaminya dan akhirnya pun
mempunyai keturuan yang sholeh-sholelah, bukan hanya sampai anaknya
saja, melainkan ketaatan kepada Allah SWT yang diikuti oleh
keturunan-keturunannya, cucu-cucu beliau, Hasan dan Husein. Subhanallah.
Syarat ketiga adalah
memegang ubun-ubun istri dan mendoakannya setelah menikah (HR Abu Dawud,
Ibnu Majah), kemudian sholat sunnah 2 rakaat sebelum berhubungan
suami-istri (HR Ibnu Abi Syaibah dan Thabrani) kemudian dilanjutkan
dengan seringnya kedua orang tua berdoa kepada Allah sebagaimana doa
Nabi Ibrahim AS, “Rabbi hablii minassholihiin” (QS
As-Shaffat:100), InshaAllah anak yang akan lahir nanti akan menjadi
pelipur lara, penyejuk mata, bukan hanya saja anak akan menjadi penyejuk
mata, namun dimasa yang akan datang ia akan menjadi pemimpin diantara
orang bertaqwa (QS.Al Furqaan:74).
Syarat keempat adalah
menghadirkan suasana islami didalam keluarga kita, mendengarkan bacaan
Alquran baik melalui kaset, cd, ataupun lainnya. Adapun yang terbaik
adalah suara yang dibacakan langsung oleh kedua orang tuanya, sebagaiman
Rasulullah Saw bersabda : “Terangilah rumahmu dengan membaca Alquran
dan Sholat Sunnah” (HR. Bukhari). Meluangkan waktu keluarga untuk
Alquran, dengan cara membaca, menghafal, mengulang, menghayati,
mengamalkan dan memasyarakatkannya. Generasi qur’ani adalah generasi
yang sangat cinta dengan Alquran, seringnya, akbrabnya dengan Alquran,
oleh sebab itu seseorang yang paling baik, paling pandai bacaan
Alqurannya, ia paling layak dan pantas menjadi pemimpin sholat (HR
Muslim).
Syarat kelima adalah
selalu menjaga, memelihara anak dari api neraka, bukan hanya
menyelamatkan diri kita sendiri, melainkan menyelamatkan juga keluarga
dan lingkungan kita (QS-At-Tahriim: 6).
Syarat keenam adalah
senantiasa membina anak dalam pendidikan yang islami, baik itu
pendidikan umum ataupun syar’i, kejarlah pendidikan dengan
setinggi-tingginya, menjadi pakar ataupun guru besar, akan tetapi perlu
ditekankan bahwa dengan pendidikan itulah membuat anak kita semakin
takut kepada Allah SWT, seperti takutnya kambing akan terkaman serigala,
(QS Faatir: 28), (HR Bukhari). Mewariskan yang terbaik untuk anak bukan
hanya harta (QS Al-Kahfi: 80-81), namun juga dibarengi dengan ilmu (Ali
bin Abi Thalib). Dengan kedua hal itu mampu menjaga anak kita dari
miskinnya harta, dan banyaknya keberkahan ilmu. InshaAllah.
Posting Komentar